Senin, 03 Oktober 2011

KELAPA SAWIT MENGGOYAHKAN EKOSISTEM HUTAN HUJAN TROPIS.



Kenapa kelapa sawit menggantikan hutan hujan?
Kenapa biofuels menggerakkan penggundulan hutan?

Saat ini banyak yang telah dilakukan dalam rangka pengubahan hutan hujan dengan keanekaragaman hayati milik Asia tersebut menjadi pengolahan kelapa sawit. Organisasi lingkungan hidup telah memperingatkan bahwa dengan memakan makanan yang mengandung minyak kelapa, konsumen Barat secara langsung ikut membantu perusakan habitat orangutan dan ekosistem yang sensitif.

Jadi, mengapa perkebunan kelapa sawit saat ini luasnya mencapai jutaan hektar mencakup Malaysia, Indonesia, dan Thailand? Kenapa kelapa sawit menjadi buah panen nomor satu, mengalahkan kompetitor terdekatnya, pisang yang rendah hati?

Jawabannya ada pada produktivitas panenan yang tidak sejalan. Sederhananya, kelapa sawit adalah bibit minyak yang paling produktif di dunia. Satu hektar kelapa sawit dapat menghasilkan 5.000 kg minyak mentah, atau hampir 6.000 liter minyak mentah menurut data dari JourneytoForever. Sebagai pembanding, kedelai dan jagung - hasil yang kerap digembar-gemborkan sebagai sumber bahan bakan biologis yang unggul - hanya menghasilkan sekitar 446 dan 172 liter per hektar.

Selain biofuel, kelapa sawit juga dipakaikan untuk beribu-ribu kegunaan lain dari bahan-bahan makanan ke pelumas mesin hingga dasar kosmetik. Kelapa sawit telah menjadi produk agrikultur yang sangat penting untuk negara-negara tropis di seluruh dunia, terutama saat harga minyak mentah mencapai 70 USD per barrel. Sebagai contohnya, Indonesia saat ini merupakan negara penghasil minyak kelapa terbesar kedua di dunia, perkebunanan kelapa sawitnya mencakup 5,3 juta hektar di tahun 2004, menurut laporan dari Friends of the Earth-Netherlands.

Perkebunan ini telah menghasilkan 11,4 juta ton kubik minyak kelapa mentah dengan nilai ekspor sebesar 4,43 milyar USD dan mendatangkan (secara resmi) 42,4 juta USD ke dalam kas negara. Karenanya, nilai dari minyak kelapa terus meningkat. Harganya saat ini mencapai lebih dari 400 USD per ton kubik, atau sekitar 54 USD per barrel - cukup kompetitif bila dibandingkan dengan petroleum.
















Walaupun kelapa sawit cukup sukses di Asia, namun sebenarnya ini bukan tanaman asli bagi kawasan tersebut. Kelapa sawit Afrika (Elaeis guineensis) berasal dari kawasan tropis Afrika, tersebar di hutan hujan Sierra Leone hingga Kongo, Republik Demokratis Kongo. Spesiesnya dikenalkan pada Malaysia pada awal abad ke-20 dan pertama kali ditanam untuk tujuan komersial pada tahun 1917.

Saat ini hampir separuh dari lahan yang telah diolah dan ditanami di Malaysia merupakan lahan kelapa sawit, dan negara tersebut telah menjadi produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar, walau Indonesia dengan cepat telah menunjukkan dirinya. Kedua negara, Indonesia dan Malaysia, mengekspor produk-produk tersebut dalam jumlah besar ke Cina: ekspor Malaysia sendiri ke negara tersebut diperkirakan akan meningkat lebih dari 20 persen dari 2,9 juta ton kubik di tahun 2005 hingga lebih dari 3,2 juta ton kubik di tahun 2006, merepresentasikan hampir 1 persen dari keseluruhan nilai ekspor Malaysia.

Minyak kelapa berasal dari buah tumbuhan tersebut, yang satu tandannya bisa mempunyai berat sekitar 40-50 kg. Seratus kilogram dari bibit minyak ini bisa menghasilkan sekitar 20 kg minyak. Tandan buah ini biasa dipanen dengan menggunakan tangan, pekerjaan yang sulit di daerah iklim tropis dimana kelapa sawit tumbuh dengan subur. Di Malaysia, kebanyakan dari pekerjaan ini dilakukan oleh tenaga kerja dari luar, kebanyakan dari Indonesia. Walau kelapa sawit dapat hidup lebih lama dari 150 tahun dan tumbuh hingga 80 kaki di alam bebas, kelapa sawit yang ditanam ini biasanya ditebang atau diracun setelah berusia 25 tahun saat tingginya telah mencapai 30 kaki. Bila lebih tinggi dari 30 kaki, maka memanen buahnya akan menimbulkan kesulitan tersendiri.

Minyak kelapa digunakan sebagai salah satu bahan mentah dari produksi biodiesel, bahan bakar yang berasal dari minyak sayur atau lemak hewani. Pada umumnya, biodiesel ini bisa diturunkan tingkatannya dan, saat terbakar, memiliki emisi yang lebih sedikit dibandingkan dengan bahan bakar petroleum tradisional. Biasanya, biofeul ini dicampur dengan bahan bakar petroleum tradisional, walau memungkinkan pula untuk menjalankan mesin diesel hanya dengan menggunakan biodieasel, yang menjadikannya menjanjikan sebagai sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil.

Para enviromentalis umumnya mendukung biofeuls ini karena rendahnya polusi yang mereka munculkan, sementara yang lain menyetujui ide untuk mengurangi ketergantungan akan minyak di Timur Tengah karena banyak tumbuhan biodiesel dapat ditanam di kawasan lain atau bahkan diproduksi sendiri. Dengan ide ini di dalam pikiran mereka, para pembuat kebijakan dari Asia hingga Eropa telah menunjukkan ketertarikan dan memberikan dorongan untuk mempromosikan dan menggunakan biofuel tersebut.

Jadi, kenapa penanaman kelapa sawit menuai perhatian? Untuk para environmentalis, permasalahan utama dengan minyak kelapa sebagai biodiesel terletak pada bagaimana tanaman tersebut diolah. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak area hutan alami yang dibuka di seantero Asia untuk perkebunan kelapa sawit. Perubahan ini telah menurunkan keanekaragaman hayati, meningkatkan kerentanan pada bahaya kebakaran, dan berdampak pada ketergantungan masyarakat sekitar akan produk dan jasa yang telah disediakan oleh ekosistem hutan.

Selain hilangnya ekosistem hutan, produksi minyak kelapa, seperti yang sedang dipraktekkan saat ini, dapat menyebabkan kerusakan yang cukup parah bagi lingkungan hidup. Di tahun 2001, produksi Malaysia sebanyak 7 juta ton minyak kelapa mentah menghasilkan hingga 9,9 juta ton limbah minyak padat, fiber kelapa, dan batok, serta 10 juta ton limbah yang merusak dari minyak kelapa, yaitu campuran polusi dari batok yang hancur, air, dan residu lemak, yang mempunyai dampak negatif pada ekosistem akuatik.

Lebih jauh lagi, penggunaan pestisida, herbisida, dan pupuk berbasis petroleum secara bebas membuat yakin bahwa kebanyakan pengolahan minyak kelapa tak hanya menyebabkan polusi pada tingkat lokal, namun juga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Melihat Malaysia merupakan salah satu dari produser yang paling efisien, produksi di daerah lain mungkin lebih berpolusi. Perkebunan di Indonesia sangat merusak karenanya setelah 25 tahun masa panen, lahan kelapa sawit kebanyakan ditinggalkan dan menjadi semak belukar. Tanah mungkin akan kehabisan nutrisi, terutama pada lingkungan yang mengandung asam, sehingga beberapa tanaman mungkin tumbuh, menjadikan wilayah tersebut tanpa vegetasi selain rumput-rumput liar yang akan mudah sekali terbakar.

Karena alasan ini, komunitas ilmuwan sangat prihatin dengan munculnya proposal dari pemerintah Indonesia untuk mengubah kawasan terpencil dan hutan hujan dengan keanekaragaman hayati di Borneo menjadi perkebunan kelapa sawit. Usulan kawasan monokultur yang sangat luas ini dapat mengancam musnahnya keanekaragaman hayati legendaris kawasan tersebut - menurut WWF sebanyak 361 spesies hewan telah ditemukan di pulau tersebut dalam satu dekade lalu - sekaligus menelantarkan penduduk lokal, termasuk suku Dayak, penduduk asli hutan yang terkenal akan keahlian berburu dan melacaknya.

Rencana ambisius: Menurut laporan Friend of Earth, di pertengahan 1990an Indonesia telah menyiapkan 9,13 juta hektar untuk ditanami kelapa sawit. Di tahun 2004, hanya sekitar 58 persen dari area ini yang benar-benar ditanami, walau area hutan hujan alami yang luas telah terlanjur dibuka demi produksi kelapa sawit. Contohnya, dalam makalah milik Lesley Potter dari Australian National University, walau hanya 303.000 hektar dari 2 juta hektar lahan di Kalimantan Timur yang disiapkan untuk pengembangan kelapa sawit telah ditanami, namun sekitar 3,1 juta hektar hutan telah dibuka dengan kedok pembangunan perkebunan.

Indonesia telah mengumumkan rencananya untuk melipatgandakan produksi minyak kelapa mentahnya pada tahun 2025, suatu target yang akan membutuhkan 2 kali lipat peningkatan di hasilnya - sesuatu yang sangat mungkin melihat dari keberhasilan negara tetangganya Malaisya - atau justru memperluas daerah yang akan ditanami kelapa sawit. Laporan tersebut menyebutkan bahwa Indonesia sepertinya akan menggunakan kedua pilihan yang ada. Sesuai usulan investasi tahun 2005, yang dibuat oleh Perusahaan Perkebunan Negara PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Indonesia akan mengembangkan sekitar 1,8 juta hektar di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia, dimana kebanyakan sisa hutan yang lengkap masih ada.

Cina akan terlibat dalam rencana ini, dengan menginvestasikan 7,5 milyar USD di proyek infrastruktur dan energi, termasuk menyediakan modal untuk perkebunan kelapa sawit. Investor Cina secara langsung akan mengendalikan sekitar 600.000 hektar perkebunan kelapa sawit, sementara 1,2 juta hektar akan dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan Indonesia. Berdasarkan eksplorasi dari konsesi sekitar 100.000 hektar, total biaya yang dibuthkan proyek ini diramalkan oleh Friends of the Earth akan mencapai 8,6 milyar USD.

Proyek ini nantinya akan mempekerjakan hingga 400.000 tenaga kerja dan menghasilkan pemasukan tahunan untuk pajak negara sebesar 45 juta USD. Usulan PTPN ini menyarankan agar perkebunan didirikan di tiga taman nasional, Betung Kerihun (800.000 hektar), Kayan Mentarang (1.360.000 hektar), dan Danau Sentarum (132.000 hektar) serta hutan lindung di sekitarnya dan hutan yang berada dalam konsesi penebangan.

Untuk minyak kelapa atau sesuatu hal yang lain? Di atas kertas, melihat luasnya area hutan tropis di kawasan tersebut dan tingginya nilai minyak kelapa, rencana tersebut tampaknya pilihan yang menguntungkan dilihat dari sisi ekonomi. Bagaimanapun juga, analisa lebih lanjut mengenai kecocokan lahan untuk ditanami kelapa sawit membuat para pemerhati lingkungan kembali bertanya mengenai tujuan utama rencana tersebut, mengesankan bahwa ada kepentingan lain.

Survey pada kawasan tersebut yang dilakukan oleh WWF menemukan bahwa sebagian besar lahan tersebut sangat buruk bila digunakan untuk kelapa sawit. Permukaan yang bergunung-gunung dikombinasikan dengan ketinggian dan iklim yang tak sesuai untuk kelapa sawit berarti paling tinggi hanya sekitar 10 persen yang cocok digunakan untuk penanamannya dan ini memberikan kredibilitas bagi kelompok-kelompok environmentalis untuk menunjukkan bahwa seluruh rencana tersebut mungkin saja hanya merupakan kedok untuk penebangan hutan besar-besaran guna mengambil seluruh sumber kayu yang ada di wilayah tersebut.

Greenomics, salah satu organisasi kehutanan non pemerintah, telah menghitung nilai kayu di kawasan perbatasan mencapai 26 milyar USD. Menebang wilayah yang disiapkan untuk perkebunan kelapa sawit bisa mendatangkan pemasukan bersih yang substansial bagi perusahaan penebangan tersebut dan pendapatan dari pajak bagi pemerintah Indonesia. Lebih lanjut lagi, karena proyek kelapa sawit ini membutuhkan konstruksi jalan yang besar, infrastruktur ini justru dapat mengantarkan kayu yang bernilai tinggi - sekalipun sebelumnya tak dapat diakses - ke pasar.

Secara bersamaan, pemerintah juga dapat memperluas program transmigrasi untuk memindahkan penduduk yang telah memadati Jawa, sesuatu yang telah dilakukan secara luas di bagian lain Kalimantan. Terakhir, pemerintah dapat memperlambat berkurangnya pemasukan dari pajak akibat adanya perdagangan kayu ilegal yang semakin berkembang di kawasan perbatasan - diperkirakan oleh Menteri Kehutanan Indonesia beberapa tahun yang lalu sebanyak 230.000 hingga 250.000 meter kubik kayu per bulan.

Melihat rekor sebelumnya dalam pengembangan kelapa sawit dan kesesuaian tanah yang dipertanyakan, kelompok lingkungan hidup menduga bahwa untuk memulai proyek ini, hutan di luar wilayah konsesi akan dibuka, sementara para pemilik tanah tak pernah bermaksud untuk benar-benar menanam pohon. Makalah milik Friends of the Earth mencatat bahwa "banyak ijin perkebunan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak benar-benar dikembangkan menjadi lahan kelapa sawit. Malahan, lahan-lahan ini sepertinya diterlantarkan karena para pemegang ijin tidak mengerjakan lahan tersebut."

Bagi para kelompok lingkungan hidup ini, yang sebenarnya bermasalah dari tren ini adalah itu semua merupakan pemborosan, dan terjadi di beberapa tempat yang memiliki ekosistem keanekaragaman hayati paling banyak di planet. Makalah tersebut menyebutkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Greenomics yang menemukan "60 persen dari seluruh pengubahan fungsi hutan dengan tujuan menanam dan perkebunan kelapa sawit masih terjadi di hutan-hutan yang bagus di tahun 2004-2005."

Sekedar berubah pikiran atau ada maksud tersembunyi? Pada 28 Maret 2006, di Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB di Ciritiba, Brazil, pemerintah Indonesia mengumumkan akan mendukung inisiatif dari WWF untuk melindungi "Jantung Borneo". WWF menyimpulkan bahwa dengan pengumuman ini berarti Indonesia akan menggagalkan rencana untuk membuat perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia di wilayah perbatasan Kalimantan, membuat para kelompok lingkungan hidup di seluruh dunia bergembira bahwa lokasi keanekaragaman hayati ini tak akan hilang karena pembangunan.

Bagaimanapun juga, rupanya kegembiraan mereka terlalu dini. Laporan dari Friends of the Earth melihat pengumuman Indonesia dari sisi yang berbeda, disebutkan "walaupun begitu, komitmen ini bukan berarti bahwa rencana untuk memperluas perkebunan kelapa sawit di kawasan perbatasan dibatalkan." Dikatakan pula bahwa Presiden Indonesia Yudhoyono "belum memberikan pernyataan resmi pada publik mengenai proyek kelapa sawit di perbatasan dibatalkan . . . [dan bahwa] Presiden masih mendukung keseluruhan program pembangunan di perbatasan."

Lebih lanjut lagi, laporan tersebut menyatakan bahwa pemerintah Indonesia sebelumnya telah setuju pada Cina menjadikan lahan tersebut bisa digunakan untuk pengembangan kelapa sawit dan tak akan mengingkari komitmen tersebut. Laporan ini juga memberikan catatan bahwa pemerintah telah mengumumkan rencana tambahan untuk memperluas area perkebunan ini menjadi 3 juta hektar agar dapat memenuhi peningkatan permintaan biofuel. Akhirnya laporan tersebut memberikan peringatan "komitmen yang dibuat oleh pemerintah pusat mungkin saja diabaikan sama sekali oleh pemerintah tingkat propinsi dan kabupaten." Friends of the Earth menambahkan bahwa Indonesia pada akhirnya mungkin tidak akan membatalkan proyek tersebut.

Pertempuran memperebutkan jantung Borneo. Walau masih belum jelas status perkebunan kelapa sawit di Borneo Tengah, laporan Friends of the Earth memberikan satu set rekomendasi untuk dapat menggunakan hutan hujan di Kalimantan dengan lebih baik secara ekologi maupun ekonomi. Organisasi tersebut menyebutkan bahwa pernyataan dari Presiden Indonesia Yudhoyono diperlukan untuk memperjelas status resmi dari proyek kelapa sawit. Jika pemerintah tidak bermaksud untuk melanjutkan dengan proyek yang diusulkan tersebut, maka pertama-tama pemerintah harus memfokuskan diri pada meningkatnya produktifitas di perkebunan yang telah ada, bukannya membuka lahan baru untuk kelapa sawit.

Ini bisa dilakukan dengan menggunakan bibiat unggul dan menerapkan praktek berkebun yang lebih baik dari seluruh bagian dunia, serta mendorong untuk menanam kembali perkebunan yang telah diterlantarkan. Laporan tersebut juga berpendapat bahwa akan lebih bijaksana jika Indonesia menggunakan sertifikasi argikultur untuk kelapa sawitnya agar meyakinkan bahwa produknya berasal dari perkebunan yang dijalankan dengan baik.

Satu set kriteria telah dibuat di bawah Principles and Criteria of the Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO). Bagian kunci untuk rencana sertifikasi adalah megajak negara pengguna untuk bergabung. Jika negara-negara ini gagal untuk mendapatkan kelapa sawit dari sumber yang mendukung, maka tak akan ada bantuan bagi para produsen untuk menjalankan perkebunan mereka dengan cara yang lebih baik. Karenanya, menurut laporan tersebut, negara-negara industri harus didorong untuk menerima produk kelapa sawit yang merupakan hasil dari sumber yang telah tersertifikasi.

Di tingkat lokal, Friends of the Earth berpendapat bahwa pemerintah Indonesia sebaiknya berfokus pada membantu masyarakat lokal untuk meningkatkan akses pasar bagi produk hutan non-kayu dan pertanian hutan, sekaligus meminimalkan dampak potensial dari jalan apapun dan proyek infrastruktur yang terkait yang merupakan hasil dari rencana tadi.

Akhirnya, untuk membuktikan betapa menggunakan ijin kelapa sawit dengan salah adalah serius, pemerintah Indonesia butuh untuk memperkuat hukum yang ada. Hingga saat ini, beberapa petugas perkebunantelah didenda atau dipenjarakan karena penggundulan hutan secara ilegal atau menyebabkan kebakaran hutan, dan pemilik tanah hanya memiliki sedikit alasan untuk mengikuti peraturan yang ada.

Di luar rekomendasi ini, situasi saat ini mungkin akan memunculkan kesempatan untuk menukarkan konservasi hutan dengan emisi karbon. Atas usulan inisiatif dari 10 negara berkembang, negara industri akan membayar konservasi hutan hujan yang akan ditukar dengan "kredit karbon" yang akan turut dihitung dalam target emisi mereka di bawah Protokol Kyoto atau perjanjian internasional lainnya.

Mungkin akan ada pula potensi inisiatif pembicaraan pivat dimana konsesi yang belum ditebang dan dikembangkan dapat dibeli oleh pihak swasta dan disiapkan untuk memberikan keuntungan lingkungan hidup jangka panjang.

Terlepas dari jalan yang telah dipilih, Friends of the Earth dan asosiasi kelompok lingkungan hidup telah menegaskan bahwa pemerintah Indonesia seharusnya mempunyai maksud sendiri dan membuat keputusan dengan berdasar pada evaluasi teliti dengan seluruh informasi yang memungkinkan. Karena negara ini masih memiliki hutan tropis yang sangat luas di kawasan Asia, keputusan mengenai hutan adalah kunci dari kelangsungan jangka panjang keanekaragaman kawasan tersebut dan pemeliharaan pelayanan ekologi.

SAVE ORANG UTAN IN BORNEO.



Menyelamatkan Orangutan di Borneo


Photo by Rhett Butler


Udara hangat dan berat, dengan kelembaban tipikal hutan hujan Borneo, saat kelotok, kapal tradisional, kami menyusuri sungai yang airnya berwarna sangat hitam. Karena hitamnya, hingga bisa disamakan dengan tinta. Panggilan parau dari sepasang burung enggang dapat terdengar, mengalahkan suara mesin, saat mereka terbang di atas kepala dengan perhiasan paruh mereka yang besar dan mencolok.

Saya mengamati sekitar hutan rawa purba untuk mencari tanda-tanda kehidupan. Tiba-tiba Thomas memekik, "Di sana, di sekitar palem Nipa. Seekor orangutan jantan dewasa!" Saya melihat ke atas untuk melihat seekor monyet merah raksasa, dengan santai memetik daun-daun segar di dekat pucuk pohon palem di sisi sungai. Dia melihat kami sebelum kembali masuk ke dalam hutan dengan pelan.

Ini adalah orangutan pertama dari banyak orangutan liar yang akan kami temui dalam beberapa hari ke depan. Saya berada di Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Selatan, di pulau Borneo. Dengan luas 400.000 hektar (988.000 are), Tanjung Puting adalah wilayah terluas yang dilindungi untuk daerah pesisir tropis dan hutan rawa gemuk di Asia Tenggara. Daerah ini juga menjadi salah satu daerah habitat terbesar yang masih ada untuk orangutan yang mulai terancam, populasi yang semakin menurun dalam beberapa tahun akibat perusakan habitat dan perburuan liar. Orangutan telah menjadi fokus dari upaya yang lebih luas untuk menyelamatkan lingkungan hidup yang alami.

Kami menuju ke Camp Leakey, dinamakan sesuai dengan paleontologis terkenal Kenya Louis Leakey. Di sinilah terdapat pusat Proyek Konservasi Penelitian Orangutan. Didirikan oleh Birute Mary Gladikas, seorang primatologis besar dan pendiri Orangutan Foundation International (OFI), yang proyeknya berusaha untuk mendukung konservasi serta pemahaman orangutan serta habitat hutan hujan, sambil merehabilitasi orangutan yang pernah tertangkap. Proyek Konservasi Penelitian Orangutan adalah tampilan publik dari konservasi orangutan di Kalimantan bagian ini, bagian Borneo di bawah pemerintahan Indonesia.

Borneo, pulau ketiga terbesar di dunia, dulunya adalah rumah bagi beberapa hutan dunia yang megah, dan menakutkan. Dengan daerah pesisir berawa yang dibatasi oleh hutan bakau dan daerah yang bergunung-gunung, kebanyakan dari daerahnya bahkan tak bisa dilewati dan belum dieksplorasi. Dulu, hingga satu abad lalu, daerah terpencil ini dikuasai oleh para dukun dari suku pedalaman.

Di tahun 1980an dan 1990an, Borneo mengalami transisi yang luar biasa. Hutan-hutannya diratakan pada tingkat yang belum pernah terjadi dalam sejarah manusia. Hutan hujannya berpindah ke negara-negara industri seperti Jepang dan Amerika Serikat dalam bentuk furnitur taman, kertas, dan sumpit. Awalnya, kebanyakan kayu diambil dari pulau yang merupakan bagian Malaysia, di daerah utara Sabah dan Sarawak. Namun kemudian, hutan di bagian selatan Borneo, daerah yang merupakan wilayah Indonesia dan dikenal dengan nama Kalimantan, menjadi sumber utama untuk kayu tropis.


Photo by Rhett Butler.


Saat ini, hutan di Borneo hanyalah merupakan bayang-bayang dari legenda tersebut. Hanya kurang dari separuh hutan hujan asli milik pulau tersebut yang masih tersisa, dan pembangunan sangat mengancam apa yang masih ada. Dengan banyaknya kandungan emas dan mineral, sumber kayu, potensi hidroelektrik, dan rendahnya kepadatan populasi di daerah yang semakin padat, pulau ini tampak sebagai kunci dari masa depan ekonomi Indonesia.

Wilayah sekitar Tanjung Puting, dekat kota Pangkalan Bun, merupakan contoh yang baik apa yang bisa terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak diatur. Wilayah ini dulunya pernah menjadi produsen rotan, tanaman rambat yang digunakan seperti kayu, dan kayu - termasuk kayu besi, meranti, sandalwood, dan ramin - namun ini tak lagi menjadi industri yang berprospek akibat gundulnya hutan. Saat ini kebanyakan dari daerah pedalaman adalah savana dan lahan tanah gemuk kering yang telah dihanguskan oleh kebakaran periodik seperti yang telah membakar hampir 20.000 mil persegi si Borneo tahun 1982-1983 dan 4.000 mil persegi lagi di tahun 1997-1998. Walau ada beberapa pekerjaan di luar perkebunan kelapa sawit, para migran dari Jawa terus saja datang dengan perahu setiap minggunya. Beberapa migran bekerja di sektor informal pertambangan, yang akhir-akhir ini bergeser dari menggali emas - kandungan yang saat ini telah hampir habis - menjadi mencari pasir silica yang digunakan untuk keperluan industri di pabrik-pabrik Cina.

Menurut Galdikas, pertambangan telah membawa dampak yang sangat terlihat pada lingkungan hidup sekitarnya. Sungai Sekonyer yang biasanya berwarna hitam, saat ini berwarna coklat seperti cafe-au-lait dengan banyaknya jumlah sedimen yang terbawa arus dari pertambangan. Gladikas menjelaskan ada kemungkinan bahwa meningkatnya serangan buaya di beberapa tahun terakhir ini - yang juga menimpa turis Inggris di tahun 2002 - bisa dihubungkan dengan berkurangnya visibilitas di dalam sungai. Ia juga prihatin dengan tingginya tingkat merkuri di sungai, sementara kandungan tersebut dianggap merupakan penyebab menurunnya kapasitas mental di bayi yang baru lahir, dan nafkah para nelayan di sekitar kota pinggir sungai Kumai ini tergantung pada ikan lokal sebagai makanan.

Terakhir, para penambang tak lagi menunjukkan keramahan pada turis yang mereka pikir akan mengancam kehidupan mereka dengan keberadaannya. Thomas, pemandu saya yang lahir di pulau Flores di Indonesia namun saat ini telah berada menetap di sini, menceritakan bahwa ia pernah berkonfrontasi dengan para penambang yang marah pada turis karena mengambil foto di daerah penambangan, takut akan kesan negatif yang keluar dapat menyebabkan pemerintah mengambil tindakan keras.

Daya tarik penambangan semakin tampak jelas saat kami beranjak ke hulu. Speedboat melewati kami, mengangkut para penduduk dan penambang dari dan ke daerah penambangan dan desa-desa mereka. Thomas percaya bahwa meningkatnya populasi para penambang dan kedekatan mereka dengan taman-taman nasional adalah suatu keprihatinan.

"Saya kira sebanyak 50 orang pergi ke sana dalam seminggu. Mereka merusak tanah dan air tapi tetap saja pemerintah daerah mengeluarkan ijin, menginginkan hasil pajak namun tidak peduli mengenai kerusakannya," ucapnya. "Jakarta tidak menyediakan dana yang cukup, jadi pemerintah lokal harus mencari cara untuk mendapatkan uang. Mereka menginginkan uang bahkan jika itu berarti rusaknya hutan dan polusi air."




















Walau penambangan saat ini terus berlangsung di daerah hutan yang telah gundul, masuknya para pekerja tambang menyebabkan digunakannya hutan sebagai bahan bangunan, bahan bakar, dan lahan pertanian.

Paling tidak sampai saat ini monyet ubiquitous proboscis, primata dengan wajah lucu berciri-ciri hidung yang besar, tampaknya tidak terganggu dengan speedboat yang berlalu-lalang. Thomas mengatakan bahwa mereka sebenarnya telah mengubah tingkah laku mereka untuk mengambil keuntungan dari kecenderungan buaya menghindari kendaraan cepat ini. Agar terjaga dari serangan buaya saat mereka menyeberang sungai, para monyet ini biasanya berenang tepat ketika sebuah speedboat baru berlalu. Bila tak ada speedboat yang dapat dimanfaatkan, mereka akan menerapkan strategi 'guniea pig' yang lebih beresiko, yaitu mengirim seekor perenang tunggal sebagai umpan. Bila si perenang ini berhasil sampai di seberang dengan aman, seluruh kelompoknya akan menyusul.

Monyet proboscis ini hanyalah satu dari sembilan spesies primata yang ditemukan di Tanjung Puting. Keseluruhannya, kekayaan spesies Borneo ini terdokumentasi dengan baik, dan masih banyak lagi spesies yang belum dikenal oleh ilmu. Pulau ini membawa pengaruh penting bagi Alfred Wallace, seorang naturalis yang memikirkan teori seleksi alam secara independen dan bersama-sama dengan Charles Darwin. Para peneliti sampai saat ini masih saja menemukan spesies yang baru bagi keilmuan. World Wildlife Fund, sebuah organisasi konservasi yang cukup aktif di Borneo, melaporkan bahwa para peneliti menemukan 361 spesies hewan dan 441 spesies tumbuhan antara tahun 1994 dan 2004.

Tahun kemarin, komunitas ilmuwan cukup terpana ketika sebuah perangkap kamera remote berhasil menangkap 2 foto seekor hewan yang tidak dikenal mirip rubah. Spesies ini rupanya sangat jarang hingga bahkan para pemburu lokal pun gagal mengenalinya. Sementara itu, kekayaan tumbuhan pulau ini menjadi rumah bagi spesies dengan khasiat yang fantastis, termasuk sebuah pohon yang menghasilkan sebuah obat - Calanolide A - yang sedang dalam percobaan FDA sebagai anti-HIV. Ironisnya, tumbuhan dengan potensi penyelamat nyawa ini hampir punah akibat penggundulan hutan sebelum ditemukan.

Penemuan yang berurut-urutan dengan ancaman pembangunan yang akan datang ini telah menjadikan Borneo sebagai fokus terbaru dari upaya konservasi. Dengan orangutan yang karismatik sebagai spesies utama untuk mendapatkan area yang dilindungi, organisasi tersebut menekan pemerintah Indonesia untuk mengurangi penebangan dan membatalkan proyek pertanian yang luas dan lebih efektif dalam mengatur taman nasional. Saat ini, kebanyakan fokus ada pada apa yang dikenal dengan "Jantung Borneo" di bagian tengah pulau, namun pekerjaan konservasi yang sedang berlangsung di Tanjung Puting juga memiliki kepentingan mendesak.

Menjadi sepenggal hutan di kawasan hutan gundul, Tanjung Puting menjadi tempat mengungsi bagi primata-primata yang telah jarang serta jenis-jenis lain tumbuhan dan hewan yang tak terkira banyaknya. Yang paling terkenal adalah orangutan, seekor monyet yang dulunya tersebar di seluruh Asia Tenggara namun saat ini hanya terbatas pada sisa populasi yang ada di Sumatera dan Borneo, akibat hilangnya habitat dan perburuan oleh manusia. Orangutan memiliki 97 persen materi genetik kita dan telah dikenal kecerdasannya, yang di beberapa tes dapat disamakan dengan anak manusia berusia 2 tahun.

Di Indonesia, orangutan saat ini terancam dengan perusakan hutan, pemburu yang membutuhkan dagingnya, dan pemburu liar untuk perdagangan hewan ilegal. WWF memperkirakan bahwa sekitar 250 hingga 1.000 orangutan liar ditangkap dan dijual di pasar gelap setiap tahunnya. Dengan total populasi kurang dari 30.000 ekor dan reproduksi yang lambat (orangutan betina jarang melahirkan lebih dari 3 ekor anak selama hidupnya), berkurangnya orangutan tadi mempunyai dampak yang signifikan terhadap keberagaman populasi dan genetis dari spesies tersebut. Beberapa peneliti bahkan takut berkurangnya populasi ini dapat mengurangi kelangsungan hidup genetis dari spesies tersebut dan berujung pada kepunahan.

Gladikas saat ini sedang berusaha membendung resiko tadi dengan mempelajari kebiasaan dari orangutan dan mengenalkan kembali orangutan yang pernah ditangkap ke hutan hujan asli mereka. Programnya adalah yang terbesar dari sejenisnya di dunia dan telah mengenalkan kembali lebih dari 150 orangutan ke hutan di Tanjung Puting. Programnya akan berhasil dengan merehabilitasi orangutan yang ditemukan saat razia atau yang diserahkan kembali secara sukarela pada pihak yang berwenang, biasanya saat orangutan telah jatuh sakit atau tumbuh lebih dari kemampuan pemiliknya untuk memelihara hewan tersebut. (Walau bayi orangutan bisa saja menggemaskan, orangutan yang telah tumbuh dan dewasa adalah hewan yang kuat dan pintar yang mampu berbuat nakal atau bahkan lebih parah.) Saat ini kebanyakan yatim piatu berasal dari perkebunan kelapa sawit. Dengan penggundulan hutan, ibu orangutan yang kelaparan pergi ke perkebunan untuk mencari makanan. Saat tertangkap, mereka dibunuh dan bayinya ditahan untuk dijual ke pasar gelap atau dikembalikan ke yang berwenang, yang akan membawanya ke Pusat Perawatan.

Orangutan yatim piatu dibawa ke Fasilitas Karantina dan Pusat Perawatan Orangutan di kota Pasir Panjung. Dengan 3 dokter hewan selaku staff tetap, ditambah asisten lokal dan sukarelawan yang membawa mereka ke hutan untuk berlatih serta dilengkapi dengan suplai dan peralatan medis, membuat staf-staf di tempat ini bisa menyediakan tingkat perawatan yang sangat baik untuk orangutan, termasuk melakukan operasi maupun perawantan karena penyakit. Namun di balik rehabilitasi fisik, banyak orangutan muda - terutama yang yatim piatu - membutuhkan adaptasi psikologi dan sosial hingga mereka pada akhirnya bisa kembali ke alam bebas dan hidup seperti orangutan pada umumnya.

Karenanya Fasilitas Karantina dan Pusat Perawatan Orangutan memiliki 'hutan tempat berlatih' dimana anak-anak orangutan tadi bisa mengembangkan kemampuan aboreal dan mendapat kesempatan untuk bertemu dengan pengganti ibunya yang kerap kali membesarkan mereka seperti anaknya sendiri. Idealnya, para yatim piatu ini akan dikenalkan kembali pada alam liar saat berumur 6-8 tahun.

Biasanya, saat seekor orangutan siap untuk dikenalkan kembali, ia dibawa ke sebuah hutan terpencil di dalam Tanjung Puting. Orangutan tersebut dilepas, namun pisang, rambutan, dan susu akan disediakan di sebuah platform tempat makan, dua kali sehari. Awalnya seekor orangutan yang baru dilepas akan sangat tergantung pada pemberian ini, namun seiring dengan waktu, ia akan menjadi semakin independen. Saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi beberapa platform ini saat jam pemberian makan, termasuk satu yang berada di Camp Leakey. Karena saat itu telah lewat musim buah, sejumlah orangutan mulai dari ibu dengan bayi hingga jantan raksasa, muncul, turun dari kanopi dan mengambil makan dari platform kayu.

Pemberian makan ini tak hanya sekedar menyediakan makanan bagi orangutan, tapi juga merupakan cara penting untuk menggapai dan memberikan pengetahuan pada warga lokal, membangun ketertarikan dan apresiasi pada kehidupan alam liar dan ekosistem hutan hujan pada anak-anak dan ornag dewasa. Saat musim puncak, mungkin lebih dari 200 orang berkunjung pada Minggu, membayar sekitar 50 sen per orang untuk melihat orangutan diberi makan. Mereka juga didorong untuk mengunjungi pertunjukan pendidikan, yang menjelaskan tentang ekologi hutan hujan dan kepentingan lingkungan hidup.

Walau program Gladikas telah sukses memperkenalkan kembali 200 orangutan atau lebih, mendukung perlindungan taman, menyediakan alternatif ekonomi bagi warga sekitar, dan mendidik anak-anak sekitar mengenai hutan hujan, pekerjaannya tidaklah mudah. Selama perjalanan, wanita yang kerap dipanggil profesor oleh pengunjung dan staf yang tak bisa menyebutkan namanya dengan benar ini, telah menghadapi perang yang cukup keras mulai dari organisasi konservasi lawan yang mencoba menjatuhkan pekerjaannya guna menjilat petugas pemerintah Indonesia hingga penambang liar dan pengembang kelapa sawit yang mengancam hidupnya.

Menurut Gladikas keadaan memang sulit setelah jatuhnya mantan diktator Suharto, yang menggunakan taktik orang terkuat untuk memerintah negara selama 30 tahun. Tidak adanya perangkat hukum, kerusuhan terjadi, dan taman dimasuki oleh penambang liar yang mengambil banyak ramin, kayu keras berwarna putih digunakan untuk furnitur dan kerai jendela, dari dalam hutan. Siang dan malam, rakit dengan balok-balok kayu mengalir bersama sungai bersamaan dengan ditebangnya ramin yang bisa diakses. Gladikas memperkirakan sekitar 120 juta USD ramin dipindahkan dari taman setiap tahunnya pada masa itu. Thomas mengingatnya dengan baik.


Photo by Rhett Butler.
"Empat hingga lima tahun yang lalu Anda dapat melihat rakit besar dengan balok kayu mengalir ke bawah setiap jam dalam sehari, bahkan di tengah malam," ucapnya, saat kami mengagumi beberapa tumbuhan raksasa di permukaan tanah. "Sangat mudah untuk memotong pohon. Dengan gergaji mesin dibutuhkan 10 hingga 15 menit dan pohon-pohon besar tumbang. Butuh 70-80 tahun bagi pohon itu untuk tumbuh kembali. Dan itu sangat lambat."

Namun Thomas berkata bahwa keadaan mulai berubah. "Tahun kemarin, pemerintah sangat ketat dalam mengendalikan penebangan hutan ilegal dan itu sepertinya mulai bekerja. Dengan patroli lokan dan proyek OFI, saya pikir penambangan ilegal mulai jarang saat ini," jelasnya.

Walau begitu, efek dari penambangan ilegal terhadap taman cukup signifikan. Survey sistem informasi geografi tahun 2004 menemukan bahwa 40 persen dari taman telah kehilangan vegetasinya. Pelanggaran pertanian - terutama pertanian beras dan peternakan udang, pertambangan (emas dan silica), dan perkebunan kelapa sawit yang didirikan mengikuti penebangan - memiliki kontribusi terbesar pada penggundulan hutan.

Tetap, Gladikas berdiri pada tempatnya, mencari dukungan dari organisasi bantuan internasional, sumbangan Orangutan Foundation International dan, yang paling penting, warga sekitar.

Saat masa transisi, Gladikas dan organisasinya OFI mengambil alih manajemen taman tersebut. Dengan dana dari USAID, ia menaruh peringatan "dilarang menebang" di sepanjang sungai dan mendirikan pos-pos penjaga di hutan, saat ini OFI mempekerjakan sekitar 200 orang lokal dalam upaya rehabilitasi dan perlindungan. Penjaga lokal saat ini berpatroli di sungai dan hutan untuk melaporkan penebangan ilegal dan pembukaan hutan. Para penduduk desa menjalankan proyek reboisasi dengan target untuk mengembalikan pohon-pohon di daerah yang gundul di dalam taman tersebut.

Walau begitu, tetap taman ini terancam oleh pelanggaran dan proposal dari pemerintah lokal untuk mengubah sebagian dari taman menjadi perkebunan kelapa sawit. Terpisah dari korupsi kronis, dimana setiap kepala desa bisa dibeli dengan sebuah motor seharga 1.000 USD, pemerintah memang menginginkan pajaknya. Kelapa sawit memang menyediakan pendapatan pajak terbesar bagi pemerintah (dan petugasnya) yang kekurangan uang.

Contohnya saja, ada tekanan yang sangat intens untuk mengubah hutan hujan tadi menjadi perkebunan kelapa sawit. Gladikas prihatin dengan rencana untuk membuat jalur baru bagi sungai utama agar mengalir ke timur dan bukan ke barat, mengeringkan hutan rawa yang ada dan secara efektif membuat lahan untuk pengembangan kelapa sawit.

Saat ini, minyak kelapa adalah industri terpanas di bagian selatan Borneo. Tingginya harga minyak membuat kelapa sawit menjadi terkenal, mendorong harganya hingga 400 USD per ton kubik atau sekitar 54 USD per barrel. Ini membawa pada pembukaan ribuan mil persegi hutan dalam beberapa tahun yang lalu. Di bagian Borneo yang ini, hutan rawa biasanya diubah setelah ditebang kayu-kayu berharganya. Kanal air pun dibangun dan hutan dikeringkan. Pohon-pohon yang tersisa dihancurkan dengan teknik tebang-dan-bakar, dan lahan kemudian ditanami dengan bibit kelapa sawit. Dalam jangka waktu beberapa tahun, kelapa sawit bisa dipanen dan diroses untuk minyak kelapa yang menghasilkan lebih banyak minyak per unit wilayah dibandingkan dengan bibit minyak lainnya. Satu hektar kelapa sawit bisa menghasilkan 5.000 kg minyak mentah, atau hampir 6.000 liter minyak mentah. Sebagai pembanding, kedelai dan jagung - hasil yang kerap digembar-gemborkan sebagai sumber bahan bakan biologis yang unggul - hanya menghasilkan sekitar 446 dan 172 liter per hektar.


Photo by Rhett Butler.
Dibalik konversi hutan, dampak kelapa sawit terhadap lingkungan cukup signifikan. Kelapa sawit telah dipercaya dapat menghabiskan nutrisi yang dimiliki tanah, sementara pabrik pembuatan minyak kelapa melepaskan limbah yang merusak dari minyak kelapa, campuran polusi dari batok yang hancur, air, dan residu lemak, ke dalam aliran air di sekitarnya. Lebih jauh lagi, penggunaan pestisida, herbisida, dan pupuk berbasis petroleum secara bebas membuat yakin bahwa kebanyakan pengolahan minyak kelapa tak hanya menyebabkan polusi pada tingkat lokal, namun juga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Perkebunan di Indonesia sangat merusak karenanya setelah 25 tahun masa panen, lahan kelapa sawit kebanyakan ditinggalkan dan menjadi semak belukar. Tanah mungkin akan kehabisan nutrisi, terutama pada lingkungan yang mengandung asam, sehingga beberapa tanaman mungkin tumbuh, menjadikan wilayah tersebut tanpa vegetasi selain rumput-rumput liar yang akan mudah sekali terbakar.

"Kelapa sawit adalah tanaman yang sangat buruk untuk orang Indonesia dan lingkungannya," kata Thomas saat kami berjalan menyeberangi wilayah yang hutan gundul yang panas. "Semua kelapa sawit hanya baik untuk pajak pemerintah dan korupsi."

Perkebunan kelapa sawit juga mengancam para orangutan yang mendatangi lahan kelapa sawit dan ditembak. Menurut Gladikas, perkebunan yang membatasi wilayah hutan menjadi perhatian tersendiri karena keberadaannya menggoda orangutan, yang biasanya ditembak jika terlihat dan kemudian dimakan oleh para pekerja perkebunan. Tekanan untuk pengembangan kelapa sawit sangat intens sepanjang batas utara dan barat taman tersebut.

Walau ada ancaman-ancaman ini, Gladikas optimis secara hati-hati pada masa depan. Ia berharap meningkatnya bayaran - saat ini 5 USD per hari per orang - yang dibayar oleh turis untuk mengunjungi taman dapat menghasilkan lebih banyak pemasukan dan mendorong pemerintah lokal untuk melihat kemungkinan di ekoturisme.

"Perhatian utama pemerintah lokal adalah pemasukan," ucap Gladikas, saat seekor orangutan betina dewasa mendekatinya di beranda rumah hutannya. "Jika mereka bisa mendapatkan uang dari melindungi Tanjung Puting untuk turis maka kemungkinan mereka akan melakukannya. Namun saat ini kelapa sawit memberikan pajak terbaik."

Lebih lagi, proyek lain yang diluncurkan oleh Gladikas dan OFI mungkin dapat merebut hati para petugas.

"Kami telah melakukan banyak hal untuk menunjukkan pemerintah lokal bahwa proyek kami memiliki keuntungan positif untuk warga sekitar. Sebagai contohnya, keberagaman panen kami di dekat Kumai menghindarkan malapetaka bagi sebagian keluarga yang mungkin saja tidak dapat memberi makan diri mereka sendiri setelah kegagalan panen padi," tambahnya. "Dan seluruh murid sekolah suka datang kemari untuk melihat orangutan. Di hari libur, kami biasanya kebanjiran pengunjung."

Demi kepentingan orangutan Borneo, mari berharap dia memang benar. 
 
Borneo, pulau terbesar ketiga di dunia, dulunya dipenuhi oleh hutan hujan yang lebat. Dengan daerah pesisir rawa-rawa yang dibatasi oleh hutan bakau dan daerah bergunung-gunung, kebanyakan dari wilayah tersebut tampak tak mungkin dilewati dan dieksplorasi. Dukun dari suku pedalaman dulunya menguasai daerah-daerah terpencil dari pulau ini sampai satu abad yang lalu.

Di tahun 1980an dan 1990an, Borneo mengalami transisi yang menakjubkan. Hutan-hutannya ditebangi hingga tahap yang tak pernah terjadi di sejarah manusia. Hutan hujan Borneo berpindah ke negara-negara industri seperti Jepang dan Amerika Serikat dalam bentuk mebel untuk kebun, bubur kertas, dan sumpit. Awalnya, kebanyakan dari kayu tersebut diambil dari utara pulau bagian Malaysia kota Sabah dan Sarawak. Kemudian, hutan di bagian selatan Borneo, sebuah wilayah milik Indonesia dan dikenal dengan nama Kalimantan, menjadi sumber utama kayu tropis. Saat ini hutan-hutan di Borneo hanyalah bayangan dari legenda masa lalu dan yang masih ada sedang sangat terancam dengan meningkatnya pasar biofuel, terutama kelapa sawit.

Kelapa sawit adalah bibit minyak yang paling produktif di dunia. Satu hektar kelapa sawit bisa menghasilkan 5.000 kg minyak mentah, atau sekitar 6.000 liter minyak mentah, ini membuatnya menjadi tanaman yang paling menguntungkan bila ditanam di perkebunan yang luas -- sebuah studi terhadap 10.000 hektar kebun menunjukkan bahwa tingkat pengembalian modalnya mencapai 26 persen per tahun. Karenanya, banyak petak-petak tanah yang diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Penanaman kelapa sawit di Indonesia telah meluas dari 600.000 hektar di tahun 1985 hingga lebih dari 6 juta hektar di awal 2007, dan diperkirakan mencapai 10 juta hektar pada tahun 2010.

Walaupun begitu, akhir-akhir ini telah ada beberapa berita positif mengenai konservasi dari Borneo. Februari 2007, pemerintah Brunei, Malaysia, dan Indonesia sepakat untuk melindungi sekitar 220.000 kilometer persegi (85.000 mil persegi) hutan tropis di tempat yang dinamakan "Jantung Borneo". Kelompok lingkungan hidup WWF adalah salah satu pihak yang aktif dalam berdirinya daerah yang dilindungi ini.



Kini hutan di pulau borneo sedang terancam karna pembakaran lahan untuk Perkebunan KELAPA SAWIT....
Sungguh ironis jika pulau yang kaya akan Flora dan satwa ini Hilang.
jadi mari kita selamatkan HUTAN HUJAN TROPIS DI PULAU BORNEO DEMI ANAK CUCU KITA..